Jenazah Rasulullah terbaring tenang di kediamannya. Aisyah dan istri-istri beliau yang lain Berta seluruh ahlul bait duduk bersimpuh menahan duka. Sementara itu, di luar sang, ter-dengar suara duh kaum muslimin. Sebagian me¬reka yang telah mendengar berita meninggalnya Rasulullah, tidak percaya dengan peristiwa itu. Abu Bakar Al-Shiddiq menyeruak di tengah keramaian. Dengan cepat ia masuk ke rumah Aisyah dan duduk di samping jasad Rasulullah. Dengan tangan gemetar, dibukanya kain penutup wajah beliau dan menciumnya. Begitu mengetahui beliau benar-benar telah wafat, Abu Bakar tak kuasa membendung air matanya. la berucap lidh, "Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Sekarang engkau merasa¬kan kematian yang telah Allah takdirkan atasmu. "
Sementara itu, di luar masih terdengar suara duh para sahabat. Di antara kerumunan mereka, terdengar suara Umar bin Khathab yang sampai saat itu tidak percaya kalau Rasulullah telah wafat. Dengan suara lantang ia berseru, "Tidak! Rasulullah tidak meninggal. la hanya pergi sementara untuk menemui Tuhannya seperti kepergian Musa bin Imran. Demi Allah, barang¬siapa yang mengatakan Rasulullah meninggal dunia, akan kupenggal kepalanya dengan pedangku ini," seru Umar sambil menghunus senjatanya.
Mendengar seruan Umar itu, Abu Bakar yang masih berada di samping jenazah Rasulullah, segera keluar menemuinya untuk menenangkan. Namun, Umartetap pada pendidannya, tidak mau percaya kalau Rasulullah saw telah meninggal dunia. Ketika kaum muslimin mulai berkerumun mendekat karena ingin mengetahui kejadian sebenarnya, Abu Bakar segera berkata, "Barang¬ siapa di antara kalian menyembah Muhammad saw, sesungguhnya dia telah meninggal. Barang¬siapa menyembah Allah, Dia Maha Hidup dan tidak akan coati." Lalu dia membaca firman Allah, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa or¬ang rasul. Apakah jika dia watat atau dibunuh, kalian berpaling darinya? Barangsiapa yang berpaling, ia tidak akan bisa mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. "(QS. Ali Imran: 144)
Begitu mendengar ucapan Abu Bakar, para sahabat barn yakin kalau Rasulullah benar-benar telah meninggal. Mereka seolah lupa dengan ayat yang dibacanya. Umar bin Khathab langsung merasakan tubuhnya bergetar! Lututnya lemas, lalu bersimpuh bertelekan pada gagang pedang yang tadi sempat dihunusnya. Beberapa sahabat lain mengalami hal yang sama. Bahkan talk sedikit di antara mereka yang talk kuat berdiri. Duka semakin dalam menyelimuti kota Madinah.
Dari serangkaian peristiwa tersebut ada beberapa ibroh yang bisa kita jadikan pelajaran, antara lain: Pertama, besarnya cinta para sahabat kepada Rasulullah saw. Begitu besarnya cinta mereka, sampai-sampai talk percaya kalau beliau telah wafat. Sikap ini telah mereka tunjukkan ketika beliau masih hidup menebarkan risalah. Sejarah mencatat, bagaimana Abu Bakar, berusaha sekuat tenaga melindungi Rasulullah ketika berada di gua Tsur. Bahkan kakinya sempat digigit ular karena berusaha menutupi lubang untuk menjaga Rasulullah.
Thalhah bin Ubaidillah dan Sa'ad bin Abi Waqqash bersedia menjadi tameng Rasulullah saat perang Uhud berkecamuk. Mereka siap menghadang hujan panah yang datangnya bertubi-tubi ke arch mereka. Hal yang sama ditunjukkan Hubaib bin Ady. Ketika tubuhnya berada di tiang salib, kafir Quraisy bertanya, 'Wahai Hubaib, apakah engkau bersedia seandainya Muhammad menggantikanmu di tiang salib ini, dan engkau kami bebaskan?" Dengan mantap, dia menjawab, "Demi Allah, saga tidak bias tenang bersama keluarga, seandainya Rasulullah tertusuk duri sekalipun."
Sikap seperti inilah yang harus dicontoh oleh kaum muslimin. Kecintaan terhadap Rasulullah harus diaktualisasikan dengan menjadikannya sebagai teladan dan rujukan dalam segala tindakan. Begitu pula di saat kaum muslimin mengalami perpecahan, mereka mesti mengem¬balikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. "...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah is kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir..."(QS. An-Nisaa : 59)
Kedua, kesabaran Abu Bakar dalam mengen¬dalikan diri. Ini juga salah satu penyebab mengapa dia terpilih sebagai khalifah. Di saat kaum muslimin tengah dirundung duka, dia mampu penjadi penghibur. Di kala kaum Anshar dan Muhajirin di ambang perpecahan, dia bisa menjadi penengah. Dia mampu meredarn kemarahan Umar bin Khatthab saat dimaki oleh Hubab bin Munzir dalam tragedi Bani Sa'idah. Dia sanggup mendinginkan suasana yang tak menentu pasca kemangkatan Rasulullah. Tapi, ketika muncul berbagai pembe¬rontakan di awal pemerintahannya, dengan tegas dia membungkamnya.
Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, bukan lantaran haws kekuasaan, tapi lebih kepada tanggung jawab. Karena itu dia tidak takut dikritik, bahkan diturunkan dari kursi pemerintahannya se¬kalipun. Sosok manusia yang tidak haws kekuasaan seperti inilah yang mesti dijadikan pe¬mimpin. Dia mampu berbuat keras terhadap apa yang mesti dihadapi dengan kekerasan. Sebaliknnya, dia akan bersikap lunak terhadap orang yang mesti dihadapi dengan kelembutan.
Pepatah Minang mengatakan, "Lambuiknyo dapek disudu, karehnyo indak dapek ditakiak." Artinya, lembutnya dapat dicicipi, kerasnya tak mampu dipalu. Pribahasa ini menyimbolkan seorang pemimpin yang lemah lembut. Tapi, kalau keputusan
sudah diambil, pantang ditawar. Ketiga, betapapun besarnya cinta terhadap seseorang, tidak boleh menyebabkan kultus individu. Sikap para sahabat dalam kisah di atas perlu dicontoh. Kendati cinta mereka setinggi gunung, mengalahkan cinta terhadap keluarga dan diri sendiri, namun tidak membuat para sahabat mengkultuskan Rasulullah. Mereka tetap me¬nempatkan beliau pada posisinya sebagai manusia dan seorang nabi. Tidak lebih dari itu.
Jika suatu kelompok telah menempatkan idolanya pada posisi yang tidak layak, bisa menjurus ke perbuatan syirik. Mereka akan menganggap semua tindakan dan ucapan sang idola adalah benar. Kalau masyarakat sudah bersikap demikian, keadaan akan semakin parch. Pemimpin tidak lagi menjadi pelayan bagi masyarakat, tapi masyarakatlah yang menjadi budak pemimpin.
Akhirnya, tak akan ada lagi yang berani mengkritik. Komunitas masyarakat tersebut akan berbuat apa saja bagi pemimpinnya. Bahkan, berani coati sekalipun untuk mempertahankan segenggam kekuasaan.
Oleh : Hamdan Matsih