Banyak orang mendambakan kebahagian. Tapi, kebahagiaan itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk diraih. Dalam keseharian terkadang kita menjumpai banyak orang pusing lantaran karena tidak punya uang. Namun bersamaan dengan itu, sering juga dijumpai orang stress, justru karena kelebihan uang.
Dunia seringkali diidentikkan dengan harta, jabatan, kekuasaan, gelar, popularitas dan sebagainya. Begitu beragamnya simbol-simbol duniawi yang melekat dalam kehidupan manusia, tapi tidak menjamin ketenteraman, kenikmatan dan kebahagiaan bisa diraih. Semuanya
disebabkan karena manusia meninggalkan rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Pada dasarnya, segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukuri. Nikmat diartikan oleh sebagian ulama sebagai "segala sesuatu yang berlebih dari modal". Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah? "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
ketika itu is belum menjadi sesuatu yang dapat disebut?" (QS al-Insan: 1). Demikian berlimpah ruahnya nikmat Allah sehingga al-Qur'an menyatakan, "Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya," (QS Ibrahim: 34).
Karenanya, bersyukur, talk hanya berarti mengikat nikmat yang ada, tapi juga mendatangkan nikmat yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini sesuai dengan janji Allah yang digariskan dalam firman-Nya, "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu merna7urnkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab Ku sangat pedih, " (OS Ibrahim: 7)
Bersyukur merupakan kewajiban syar'i bagi setiap muslim. Meskipun demikan, mereka yang belum mampu bersyukur seharusnya tidak boleh lepas dari bimbingan Allah SWT. "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat aural shalih yang engkau ridhai, " (QS a[-Ahqaf : 15).
Banyak orang salah kaprah ketika menerapkan syukur dalam kehidupannya. Orang sering berasumsi bahwa dengan mengucapkan syukur secara lisan, maka sudah dianggap cukup. Cara bersyukur yang paling ideal adalah dengan menerapkannya melalui tiga media; hati, lisan dan perbuatan. Bersyukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa segala kenikmatan yang kita peroleh, berasal dari Allah SWT. Keyakinan bahwa segalanya hanyalah milik Allah adalah salah satu kunci utama untuk meraih kebahagiaan dan ketenteraman. Bila keyakinan ini tertanam kuat di dalam diri, maka kekayaan duniawi sebanyak apa pun tidak akan membuat kita angkuh, ujub dan sombong. "Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang per
buatan itu," (QS al-Baqarah: 284). Dalam sejarah, Qarun dikenal selalu mengingkari, bahwa keberhasiiannya atas bantuan Ilahi. la mengklaim, segala yang diperolehnya karena kemampuannya. Jelas Islam menilainya sebagai kafir atau tidak mensyukuri
nikmat-Nya (QS al-Qashash 76-82).
Bersyukur dengan lisan dapat dilaksanakan dengan cara selalu memuja dan memuji Allah yang telah memberikan berbagai nikmat dan karunia. Islam mengajarkan agar pujian itu disampaikan dengan redaksi "al-hamdulillah". Hamd (pujian) disampaikan secara lisan ke¬pada yang dipuji walaupun Dia tidak memberi apa pun, baik kepada si pemuji maupun yang lain. Kata al" pada "al-hamdulillah"oleh pakar¬pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan". Maksudnya, yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah SWT. Bahkan, seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Jika kita mengembalikan segala pujian kepada Allah, berarti ketika memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT. Se¬bab kecantikan dan ke¬baikan itu bersumber dari Allah.
Bersyukur dengan perbuatan dapat diwu¬judkan dengan cars me¬manfaatkan kenikmatan yang kita peroleh untuk mengabdi kepada Allah SWT. Nabi Daud as be¬serta putranya Nabi Su¬laiman as memperoleh berbagai kenikmatan yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan, "Be¬kerfalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur,"(QS Saba: 13).
Bekerja di sini adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan pen-ciptaan atau penganugerahannya. ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut peneri¬manya agar merenungkan tujuan dianugerah¬kannya nikmat tersebut. Sebagai contoh, lautan yang diciptakan oleh Allah SWT. "Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan dannya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur," (QS an-Nahl: 14).
Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur dengan mencari ikan¬ikannya, mutiara serta menuntut pula untuk mebuat kapal-kapal yang dapat menga¬runginya. Bahkan, aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat "mencari karunia-Nya". Dalam konteks inilah terlihat realisasi dan janji Allah.
Dalam ayat ketujuh surat Ibrahim juga dije¬laskan bahwa kufur terhadap nikmat Allah akan mendatangkan siksa yang amat pedih. Suatu hal yang menarik untuk disimak adalah kesyu¬kuran dihadapkan de¬ngan janji yang pasti, tegas dan langsung bersumber dari Allah SWT. Siksa yang di maksud antara lain adalah rasa lapar, ce¬mas, dan takut. Untuk itu, Allah telah mem¬buat satu perumpa¬maan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, re¬zekinya datang kepa¬danya melimpah ruah
dari segenap penjuru. Tapi penduduknya kufur., Akhirnya, Allah menjadikan mereka kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh segala ulah mereka (QS an-Nahl: 112).
Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah menimpa sekian banyak individu, mas¬yarakat, kaum, bangsa dan negara. Cukuplah semua ini dijadikan sebagai bahan refleksi. Semoga setiap kita terinspirasi untuk selalu bersyukur. Hingga tidak jatuh ke dalam jurang kebinasaan. "Demikianlah Kami memberi ba¬lasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali,l kepada orang-orang yang kufur," (QS Saba: 17).
Oleh : Ikhwan Fauzi
Sabili : No. 05 Th. X 5 September 2002 / 27 Jumadil Akhir 1423
Dunia seringkali diidentikkan dengan harta, jabatan, kekuasaan, gelar, popularitas dan sebagainya. Begitu beragamnya simbol-simbol duniawi yang melekat dalam kehidupan manusia, tapi tidak menjamin ketenteraman, kenikmatan dan kebahagiaan bisa diraih. Semuanya
disebabkan karena manusia meninggalkan rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Pada dasarnya, segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukuri. Nikmat diartikan oleh sebagian ulama sebagai "segala sesuatu yang berlebih dari modal". Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah? "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
ketika itu is belum menjadi sesuatu yang dapat disebut?" (QS al-Insan: 1). Demikian berlimpah ruahnya nikmat Allah sehingga al-Qur'an menyatakan, "Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya," (QS Ibrahim: 34).
Karenanya, bersyukur, talk hanya berarti mengikat nikmat yang ada, tapi juga mendatangkan nikmat yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini sesuai dengan janji Allah yang digariskan dalam firman-Nya, "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu merna7urnkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab Ku sangat pedih, " (OS Ibrahim: 7)
Bersyukur merupakan kewajiban syar'i bagi setiap muslim. Meskipun demikan, mereka yang belum mampu bersyukur seharusnya tidak boleh lepas dari bimbingan Allah SWT. "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat aural shalih yang engkau ridhai, " (QS a[-Ahqaf : 15).
Banyak orang salah kaprah ketika menerapkan syukur dalam kehidupannya. Orang sering berasumsi bahwa dengan mengucapkan syukur secara lisan, maka sudah dianggap cukup. Cara bersyukur yang paling ideal adalah dengan menerapkannya melalui tiga media; hati, lisan dan perbuatan. Bersyukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa segala kenikmatan yang kita peroleh, berasal dari Allah SWT. Keyakinan bahwa segalanya hanyalah milik Allah adalah salah satu kunci utama untuk meraih kebahagiaan dan ketenteraman. Bila keyakinan ini tertanam kuat di dalam diri, maka kekayaan duniawi sebanyak apa pun tidak akan membuat kita angkuh, ujub dan sombong. "Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang per
buatan itu," (QS al-Baqarah: 284). Dalam sejarah, Qarun dikenal selalu mengingkari, bahwa keberhasiiannya atas bantuan Ilahi. la mengklaim, segala yang diperolehnya karena kemampuannya. Jelas Islam menilainya sebagai kafir atau tidak mensyukuri
nikmat-Nya (QS al-Qashash 76-82).
Bersyukur dengan lisan dapat dilaksanakan dengan cara selalu memuja dan memuji Allah yang telah memberikan berbagai nikmat dan karunia. Islam mengajarkan agar pujian itu disampaikan dengan redaksi "al-hamdulillah". Hamd (pujian) disampaikan secara lisan ke¬pada yang dipuji walaupun Dia tidak memberi apa pun, baik kepada si pemuji maupun yang lain. Kata al" pada "al-hamdulillah"oleh pakar¬pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan". Maksudnya, yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah SWT. Bahkan, seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Jika kita mengembalikan segala pujian kepada Allah, berarti ketika memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT. Se¬bab kecantikan dan ke¬baikan itu bersumber dari Allah.
Bersyukur dengan perbuatan dapat diwu¬judkan dengan cars me¬manfaatkan kenikmatan yang kita peroleh untuk mengabdi kepada Allah SWT. Nabi Daud as be¬serta putranya Nabi Su¬laiman as memperoleh berbagai kenikmatan yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan, "Be¬kerfalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur,"(QS Saba: 13).
Bekerja di sini adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan pen-ciptaan atau penganugerahannya. ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut peneri¬manya agar merenungkan tujuan dianugerah¬kannya nikmat tersebut. Sebagai contoh, lautan yang diciptakan oleh Allah SWT. "Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan dannya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur," (QS an-Nahl: 14).
Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur dengan mencari ikan¬ikannya, mutiara serta menuntut pula untuk mebuat kapal-kapal yang dapat menga¬runginya. Bahkan, aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat "mencari karunia-Nya". Dalam konteks inilah terlihat realisasi dan janji Allah.
Dalam ayat ketujuh surat Ibrahim juga dije¬laskan bahwa kufur terhadap nikmat Allah akan mendatangkan siksa yang amat pedih. Suatu hal yang menarik untuk disimak adalah kesyu¬kuran dihadapkan de¬ngan janji yang pasti, tegas dan langsung bersumber dari Allah SWT. Siksa yang di maksud antara lain adalah rasa lapar, ce¬mas, dan takut. Untuk itu, Allah telah mem¬buat satu perumpa¬maan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, re¬zekinya datang kepa¬danya melimpah ruah
dari segenap penjuru. Tapi penduduknya kufur., Akhirnya, Allah menjadikan mereka kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh segala ulah mereka (QS an-Nahl: 112).
Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah menimpa sekian banyak individu, mas¬yarakat, kaum, bangsa dan negara. Cukuplah semua ini dijadikan sebagai bahan refleksi. Semoga setiap kita terinspirasi untuk selalu bersyukur. Hingga tidak jatuh ke dalam jurang kebinasaan. "Demikianlah Kami memberi ba¬lasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali,l kepada orang-orang yang kufur," (QS Saba: 17).
Oleh : Ikhwan Fauzi
Sabili : No. 05 Th. X 5 September 2002 / 27 Jumadil Akhir 1423