Pada hari Senin (21/10) ribuan orang memadati lapangan Puputan, Renon, Denpasar, Bali untuk melakukan doa bersama. Acara yang berlangsung khidmat selama dua jam itu ditujukan untuk mengenang tragedi ledakan bom di JI Legian, 12 Oktober lalu. Turut hadir berbagai elemen masyarakat dan tokoh-tokoh agama, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh muslim. Meski tidak begitu jelas target apa yang hendak dicapai, namun acara ini mengilhami satu semboyan, "Dengan doa ber¬sama, persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak akan dapat digoyahkan dan perdamaian senantia¬sa terjaga."
Mereka yang ada di sang duduk bersama, me¬nengadahkan tangan, memohon keselamatan dan perdamaian untuk semua pemeluk agama kepada tuhan dengan keyakinan masing-masing. Cermin¬an solidaritas dan toleransi yang tertuang dalam acara itu patut dihargai. Namun, selaku muslim kita tidak boleh mengabaikan norma-norma akidah yang mengatur batasan-batasan toleransi. Artinya, toleransi yang kita haturkan kepada non muslim jangan sampai berlebihan dengan mengorbankan keyakinan (akidah).
Merunut kembali pada sejarah mass lalu, peristiwa tersebut mengingatkan kita pada Rasulullah saw ketika dirundung kesedihan saat paman yang sangat dicintainya, Abu Thalib (penyem¬bah berhala) meninggal dunia. Di tengah suasana duka beliau memohon kepada Allah Ta'ala agar mengampuni segala dosa dan kesalahannya. Tapi, Allah SWT menegurnya, bahwa dalam persoalan agama ada batasan-batasan toleransi yang tidak boleh dilampaui.
Melalui firman-Nya beliau diingatkan untuk tidak mendoakan orang yang tidak seiman, "Sama sekali tidak layak bagi Nabi dan orang-orang beriman me¬mohonkan ampun untuk orang-orang musyrik, se¬kali pun mereka itu keluarga dekatnya setelah jelas
kepada mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahim," (QS at-Taubah: 9).
Berbicara tentang masalah doa, mungkin ada orang yang mempersoalkan. Jika Nabi Muhammad saw dan orang-orang mukmin tidak boleh mendo¬akan orang-orang musyrik, lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim as yang berdoa untuk ayahandanya yang kafir, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur'an, "Dan ampunilah bapakku karena sesung¬guhnya is termasuk orang-orang yang sesat, " (OS asy-Syu'ara: 86).
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa doa Nabi Ibrahim ini esensinya ialah meminta. kepada Allah SWT agar ayahandanya ini diberikan hidayah dan petunjuk supaya menjadi orang beriman. Bahkan, menurut Imam Qatadah, setelah jelas bagi Ibrahim bahwa ayahandanya adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri darinya.
Jelasnya, berdoa untuk orang-orang musyrik agar mereka Jiberi kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, kebaikan, dan sebagainya tidak dibolehkan. Hal itu bukanlah bentuk dari toleransi. Mendoakan mereka berarti mengakui dan mem¬benarkan eksistensi keyakinan mereka.
Agar tidak salah kaprah dalam bersikap dan menyikapi, seyogianya setiap kita mengetahui doa yang sesuai dengan tuntunan syari. Doa yang syari adalah doa yang dilandasi norma-norma Islami. Norma-norma itulah yang sekaligus menjadi adab dalam berdoa, di antaranya adalah:
Pertama, dalam doa tidak disertai syirik (menyekutukan Allah). Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Karen itu janganlah kamu berdoa (menyeru) kepada siapa pun selain Allah," (QS al-Jin: 18)
Menurut Imam Qatadah, ayat ini bertalian dengan kejadian umat Yahudi dan Nashrani. Ketika mereka memasuki rumah-rumah ibadah, mereka kerap kali melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala di samping menyembah Allah. Dengan turunnya ayat ini, kaum muslimin diperin¬tahkan untuk tidak berbuat demikian ketika mema¬suki masjid-masjid.
Kedua, doa tidak diperuntukkan orang-orang musyrik (QS at-Taubah: 113).
Ketiga, doa dengan kesungguhan hati. Meman¬jatkan doa harus dilakukan dengan konsentrasi, penuh dengan perasaan tadharru' dan khusyuk. Itu sebagai bukti kerendahan dan harapan penuh kita kepada Allah. Jangan sekali-kall kita berdoa dengan perasaan pesimis. Kesungguhan hati sangat mendukung terkabulnya doa. "Adakalanya seseorang yang rambutnya terurai dan berdebu tertolak untuk memasuki rumah-rumah orang karena rendahnya dalam pandangan manusia. Akan tetapi kalau ia sungguh-sungguh memohon kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkannya," (HR Muslim).
Keempat, tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT. Terkadang karena diri seseorang berlumuran doss, ia menjadi begitu mudah berputus harapan. Lalu ia merasa pesimis. la menganggap sepertinya sudah tak ada gunanya lagi berdoa. Semestinya, perasaan semacam ini dihilangkan. Karena Allah SWT. Maha Pengampun. Dosa sebesar apapun, kalau pelakunya benar-benar bertaubat, me¬nyesali segala kesala¬han dan dosa-dosanya, niscaya Allah mengam-puninya. Janji Allah ini ditegaskan dalam fir¬man-Nya, "Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni doss-doss semuanya. Sesungguh¬nya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang',"(QS az-Zumar: 53)
Kelima, berdoa untuk kebaikan. Seorang muslim yang memohon kepada Allah akan segala kebaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, insya Allah permohonannya itu akan dikabulkan. Karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. "'Tidak sekali-kali seorang muslim di bumi ini ber¬doa kepada Allah ta'ala meminta suatu permintaan, melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta, atau memalingkan darinya suatu kejahatan yang semisal dengan permintaannya. Itu pun selagi ia tidak berdoa meminta suatu doss atau memutus¬kan silaturrahim', Seketika seorang lelaki berkata, 'Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa' Beliau menjawab, 'Allah Maha Memberi'," (HR Tirmidzi).
Keenam, Tidak berdoa sekadar formalitas. Dalam acara-acara yang bersifat ceremonial, doa selalu diikutsertakan sebagai penutup acara. Hal ini tidak masalah, kalau memang dilakukan dengan penuh kesungguhan. Tapi, tidak bernilai apa-apa kalau sekadar formalitas. Apalagi kalau lafazh doa diucapkan dengan menampakkan sikap keengganan. Rasulullah saw mengingatkan, "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu mengucap
kan, 'Wahai Tuhan, ampunilah diriku jika engkau mau. Wahai Tuhan, kasihanilah diriku jika engkau mau'. Hendaklah ia bersungguh-sungguh denngan permintaannya. Sesungguhnya tak satupun yang dapat memaksa-Nya”. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan menyadari begitu pentingnya ber¬doa sesuai syar'i, mu¬dah-mudahan kita sa¬dar untuk kembali me¬ngintrospeksi diri. Se¬hingga kita tidak salah dalam menyikapi toleransi, kesulitan kondisi, dan musibah yang menimpa diri. Sebaliknya, dengan doa kita senantiasa berbaik sangka bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan yang terbaik buat kita. Aamiin.
Oleh : Ikhwan Fauzi
Sabili : No. 09 Th. X 14 November 2002 / 9 Ramadan 1423
Mereka yang ada di sang duduk bersama, me¬nengadahkan tangan, memohon keselamatan dan perdamaian untuk semua pemeluk agama kepada tuhan dengan keyakinan masing-masing. Cermin¬an solidaritas dan toleransi yang tertuang dalam acara itu patut dihargai. Namun, selaku muslim kita tidak boleh mengabaikan norma-norma akidah yang mengatur batasan-batasan toleransi. Artinya, toleransi yang kita haturkan kepada non muslim jangan sampai berlebihan dengan mengorbankan keyakinan (akidah).
Merunut kembali pada sejarah mass lalu, peristiwa tersebut mengingatkan kita pada Rasulullah saw ketika dirundung kesedihan saat paman yang sangat dicintainya, Abu Thalib (penyem¬bah berhala) meninggal dunia. Di tengah suasana duka beliau memohon kepada Allah Ta'ala agar mengampuni segala dosa dan kesalahannya. Tapi, Allah SWT menegurnya, bahwa dalam persoalan agama ada batasan-batasan toleransi yang tidak boleh dilampaui.
Melalui firman-Nya beliau diingatkan untuk tidak mendoakan orang yang tidak seiman, "Sama sekali tidak layak bagi Nabi dan orang-orang beriman me¬mohonkan ampun untuk orang-orang musyrik, se¬kali pun mereka itu keluarga dekatnya setelah jelas
kepada mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahim," (QS at-Taubah: 9).
Berbicara tentang masalah doa, mungkin ada orang yang mempersoalkan. Jika Nabi Muhammad saw dan orang-orang mukmin tidak boleh mendo¬akan orang-orang musyrik, lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim as yang berdoa untuk ayahandanya yang kafir, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur'an, "Dan ampunilah bapakku karena sesung¬guhnya is termasuk orang-orang yang sesat, " (OS asy-Syu'ara: 86).
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa doa Nabi Ibrahim ini esensinya ialah meminta. kepada Allah SWT agar ayahandanya ini diberikan hidayah dan petunjuk supaya menjadi orang beriman. Bahkan, menurut Imam Qatadah, setelah jelas bagi Ibrahim bahwa ayahandanya adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri darinya.
Jelasnya, berdoa untuk orang-orang musyrik agar mereka Jiberi kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, kebaikan, dan sebagainya tidak dibolehkan. Hal itu bukanlah bentuk dari toleransi. Mendoakan mereka berarti mengakui dan mem¬benarkan eksistensi keyakinan mereka.
Agar tidak salah kaprah dalam bersikap dan menyikapi, seyogianya setiap kita mengetahui doa yang sesuai dengan tuntunan syari. Doa yang syari adalah doa yang dilandasi norma-norma Islami. Norma-norma itulah yang sekaligus menjadi adab dalam berdoa, di antaranya adalah:
Pertama, dalam doa tidak disertai syirik (menyekutukan Allah). Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Karen itu janganlah kamu berdoa (menyeru) kepada siapa pun selain Allah," (QS al-Jin: 18)
Menurut Imam Qatadah, ayat ini bertalian dengan kejadian umat Yahudi dan Nashrani. Ketika mereka memasuki rumah-rumah ibadah, mereka kerap kali melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala di samping menyembah Allah. Dengan turunnya ayat ini, kaum muslimin diperin¬tahkan untuk tidak berbuat demikian ketika mema¬suki masjid-masjid.
Kedua, doa tidak diperuntukkan orang-orang musyrik (QS at-Taubah: 113).
Ketiga, doa dengan kesungguhan hati. Meman¬jatkan doa harus dilakukan dengan konsentrasi, penuh dengan perasaan tadharru' dan khusyuk. Itu sebagai bukti kerendahan dan harapan penuh kita kepada Allah. Jangan sekali-kall kita berdoa dengan perasaan pesimis. Kesungguhan hati sangat mendukung terkabulnya doa. "Adakalanya seseorang yang rambutnya terurai dan berdebu tertolak untuk memasuki rumah-rumah orang karena rendahnya dalam pandangan manusia. Akan tetapi kalau ia sungguh-sungguh memohon kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkannya," (HR Muslim).
Keempat, tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT. Terkadang karena diri seseorang berlumuran doss, ia menjadi begitu mudah berputus harapan. Lalu ia merasa pesimis. la menganggap sepertinya sudah tak ada gunanya lagi berdoa. Semestinya, perasaan semacam ini dihilangkan. Karena Allah SWT. Maha Pengampun. Dosa sebesar apapun, kalau pelakunya benar-benar bertaubat, me¬nyesali segala kesala¬han dan dosa-dosanya, niscaya Allah mengam-puninya. Janji Allah ini ditegaskan dalam fir¬man-Nya, "Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni doss-doss semuanya. Sesungguh¬nya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang',"(QS az-Zumar: 53)
Kelima, berdoa untuk kebaikan. Seorang muslim yang memohon kepada Allah akan segala kebaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, insya Allah permohonannya itu akan dikabulkan. Karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. "'Tidak sekali-kali seorang muslim di bumi ini ber¬doa kepada Allah ta'ala meminta suatu permintaan, melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta, atau memalingkan darinya suatu kejahatan yang semisal dengan permintaannya. Itu pun selagi ia tidak berdoa meminta suatu doss atau memutus¬kan silaturrahim', Seketika seorang lelaki berkata, 'Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa' Beliau menjawab, 'Allah Maha Memberi'," (HR Tirmidzi).
Keenam, Tidak berdoa sekadar formalitas. Dalam acara-acara yang bersifat ceremonial, doa selalu diikutsertakan sebagai penutup acara. Hal ini tidak masalah, kalau memang dilakukan dengan penuh kesungguhan. Tapi, tidak bernilai apa-apa kalau sekadar formalitas. Apalagi kalau lafazh doa diucapkan dengan menampakkan sikap keengganan. Rasulullah saw mengingatkan, "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu mengucap
kan, 'Wahai Tuhan, ampunilah diriku jika engkau mau. Wahai Tuhan, kasihanilah diriku jika engkau mau'. Hendaklah ia bersungguh-sungguh denngan permintaannya. Sesungguhnya tak satupun yang dapat memaksa-Nya”. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan menyadari begitu pentingnya ber¬doa sesuai syar'i, mu¬dah-mudahan kita sa¬dar untuk kembali me¬ngintrospeksi diri. Se¬hingga kita tidak salah dalam menyikapi toleransi, kesulitan kondisi, dan musibah yang menimpa diri. Sebaliknya, dengan doa kita senantiasa berbaik sangka bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan yang terbaik buat kita. Aamiin.
Oleh : Ikhwan Fauzi
Sabili : No. 09 Th. X 14 November 2002 / 9 Ramadan 1423