Minggu, 11 April 2010

Mengikis Karang Perusak Hati

Hati, memainkan peran penting bagi perbaikan perilaku manusia. Jika ia rusak, seperti diungkapkan Rasulullah saw, rusak pula perilaku keseharian pemiliknya. Dan ajaran Islam datang guna memperbaiki akhlak manusia. "Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia," sabda Nabi saw (HR Ahmad). Perbaikan tersebut tidak saja dilakukan melalui serangkaian tuntutan¬tuntutan lahiriyah semata, tapi juga me¬nyentuh batas-batas jiwa (ruh). Dua dimensi ini saling melengkapi dan tak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Seorang muslim misalnya, tidak bisa disebut muslim yang baik, jika mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya tapi tidak shalat.
Sebab, cinta adalah wilayah jiwa yang meminta tindakan¬-tindakan nyata. Sangat tidak masuk akal, se¬perti dipahami sebagian orang, jika dengan alasan cinta yang begitu tinggi pada Allah, seseorang lalu boleh meninggalkan ke¬wajiban shalat.
Dalam konteks ini, Imam Syafi'i mengilus¬trasikan kontradiksi dalam sebuah syairnya, "Anda bermaksiat pada Tuhan, tapi mengaku mencintai-Nya. Sungguh sebuah analogi yang menggelikan. Jika benar mencintai-Nya, Anda pasti mentaati¬-Nya. Sebab, pecinta selalu menuruti ke¬mauan yang dicin¬tainya." Dalam proses perbaikan hati ini, ajaran Islam yang diamalkan secara utuh menjadi esensi utama yang mengge¬rakkan hati ke arah keteduhan dan ketenangan. Sebab, hati yang bersih dan dipenuhi iman dan takwa adalah natijah (hasil) konkret dari ibadah dan aural shalih. Selaras dengan pesan sentral Islam, yang dimuat dalam surah al-`Ashy, (ayat 2-3), "Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih dan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran." Dimensi iman dan aural shalih inilah yang menjadi inti kehidupan, di mans kelangsungannya dalam individu dan masyarakat dijaga oleh fungsi "saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran" yang merupakan esensi amar ma'ruf dan nahi mungkar.
Meski demikian, dalam kenyataannya tidak semua hati dapat mudah menerima nasihat dan kebenaran. Karena maksiat dan lalai mengingat Allah, hati menjadi keras ibarat karang. Sulit menerima kebenaran dan gembira dalam kemaksiatan. Model hati seperti inilah yang dilarang oleh Allah, "Janganiah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepa¬danya, kemudian berlalu masa yang panjang atas me¬reka, lalu hati mereka menjadi keras," (QS al¬Hadid: 16).
Ibnu Rajab (736- 795 H), seorang ula¬ma Hadits, Fiqh dan Ushul terkemuka, merinci sebab-se¬bab hati menjadi keras dan sulit me¬nerima hidayah.
Per¬tama, banyak bicara dan meninggalkan dzikrullah. Ini disimpulkan dari wejangan Rasulullah saw, "Janganlah kamu banyak bi¬cara kecuali dzikrullah. Sungguh, banyak bicara itu membuat hati menjadi keras, dan orang yang paling jauh dari Allah adalah yang berhati keras," (HR Tirmidzi No.2413, Malik dan Baihaqy). Dalam riwayat lain, beliau bahkan menyebut hati yang keras sebagai salah satu biang kesengsaraan (HR al-Bazzar, Majma az-Zawaid 10/226).
Kedua, banyak tertawa. Kebiasaan buruk ini menjadikan hati lalai mengingat Allah, sehingga is kehilangan ruh dan kesadaran jati diri. Maka tepat, jika Rasulullah saw jauh¬jauh hari mengingatkan untuk menghindari kebiasaan yang satu ini. "Janganlah kalian banyak tertawa, karena hal itu dapat mema¬tikan hati," (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ketiga, banyak makan. Apalagi jika yang dimakan itu berupa barang syubuhat (mera¬gukan) atau haram, atau diperoleh dengan cara yang sama. Seorang ulama, Bisyr bin al ¬Harits, pernah menjelaskan bahwa banyak bicara dan makan merupakan dua penyebab hati menjadi keras.
Keempat, banyak dosa dan maksiat. Rasulullah saw sangat tepat dalam salah satu haditsnya, ketika mengibaratkan dosa seperti titik hitam yang menempel di hati. Jika pelakunya bertobat lalu meninggalkan kemaksiatannya dan memohon ampun pada Allah, hatinya berubah mengkilat. Jika kemaksiatannya bertambah, bertambah juga titik itu sehingga hatinya menjadi tinggi, sombong dan tak dapat menerima kebenaran (HR Tirmidzi).
Lalu bagaimana membuat hati menjadi lembut dan mudah menerima kebenaran. Ulama-ulama generasi awal mengajukan be¬berapa resep.
Pertama, banyak mengingat Allah dalam hati dan lisan. Termasuk di da-lamnya, membaca al-Qur'an dan merenungi kandungannya. Dikisahkan dalam "Az-Zuhd" (2/233), seseorang datang kepada Hasan bin Ali mengadukan hatinya yang keras. Beliau lalu menasehatinya, "Lunakkanlah dengan dzikir." Lebih tegas lagi, Yahya bin Mu'adz dan Ibrahim al-Khawwash, menggolongkannya dalam lima penawar hati, yaitu: membaca al Qur'an dan merenunginya, mengosongkan perut, qiyamullail, beribadah di malam hari dan berkawan dengan orang-orang shalih (Al¬Hilyah 10/327). Dzikirlah yang membuat hati menjadi teduh dan tentram, sehingga dapat jernih memandang berbagai persoalan yang dihadapi. "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram," (QS ar-Ra'd:28).
Kedua, berbuat baik pada anak-anak yatim dan fakir miskin. Inilah yang dipesankan oleh Rasulullah saw, "Jika anda ingin melunakkan hati anda, sentuhlah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin," (HR Ahmad).
Ketiga, banyak mengingat mati. Merenungkan kematian yang pasti datang menjemput, suka atau tidak suka, akan menyentak kesadaran nurani kita tentang hakikat tujuan hidup sebenarnya. Segala kemegahan dan nilai di mata manusia, menjadi tak berarti. Yang berarti hanyalah nilai kita di mata Allah. Jika begitu, tak ada jalan lain kecuali menuruti aturan-Nya dengan segala keikhlasan'. "Perbanyaklah mengingat penghancur segala kelezatan (mati)," pesan Rasul saw pada umatnya (HR Tirmidzi, Ahmad, Nasa'i dan Ibnu Majah).
Keempat, menziarahi kubur dan memikir¬kan keadaan penghuninya. Hal ini sangat bermanfaat bagi setiap muslim dalam meng¬evaluasi segala kealpaan diri. Melupakan se¬jenak segala kesenangan dan kegembiraan duniawi, lalu membenamkan diri dengan mengingat dosa dan kemaksiatan. Untuk selanjutnya, bertaubat kepada Allah, memo¬hon ampunan-Nya dan bertekad tidak me¬ngulang kembali kemaksiatan-kemaksiatan tersebut. Sabda Rasulullah saw, "Ziarahilah kuburan karena hal itu dapat mengingatkan kalian dengan kematian," (HR Muslim 976, Abu Dawud 3234, Ibnu Majah 1572 dan Ah¬mad 2/441). Jangan biarkan hati kita keras seperti karang, sulit menerima nasihat dan kebenar¬an. Sekarang juga, selagi kita bisa.?
Oleh : M. Nurkholis Ridwan