Minggu, 11 April 2010

Enam Tahap: Mencegah Kemunkaran

Dalam sebuah kesempatan, cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia, Amien Rais, mengungkapkan bahwa di Indonesia sudah banyak yang menyuruh pada ma'ruf (kebaikan), tapi sangat jarang yang berani mencegah kemunkaran. Sebabnya, menyuruh yang ma'ruf tidak mempunyai risiko seperti ketika mencegah kemunkaran. Ancaman kekerasan dan intimidasi setiap saat bisa terjadi, apalagi ketika nasehat dan kritikan me¬nyinggung institusi tertentu atau orang yang memiliki pengaruh dan kekuatan finansial. Tidak aneh jika jarang orang melakukannya. Padahal, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan dua kewajiban ini secara bersama-sama, bahkan menjadikannya bagian dari karakter "Khairu Ummah" (umat yang terbaik). "Kamu adalah umat yang terbaik yang menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah," (QS Ali Imran: 110).
Kemunkaran yang tak dicegah akan terakumulasi dan selanjutnya melahirkan kemunkaran yang lebih besar. Bahkan, akan muncul kesan dalam benak masyarakat bahwa kemunkaran merupakan kewajaran yang patut ditolerir. Jika itu terjadi, kehancuran sebuah komunitas tinggal menunggu waktu. Lebih parch lagi jika kemunkaran dilegalisasikan, seperti usulan untuk melokalisasi judi yang belakangan ini hangat dibicarakan. Usulan itu, jika terlaksana, tidak saja menjadikan per¬buatan haram ini semakin mengakar di tengah-tengah masyarakat, tapi juga me¬rupakan penghalalan terang-terangan ter¬
hadap kemunkaran. Jika demikian, tunggulah adzab Allah yang tidak hanya mengenai pelaku kemunkaran, tapi juga masyarakat yang tidak mencegahnya. "Dan peliharalah dirimu dari¬pada siksaan yang tidak khusus menimpa or¬ang-orang yang zalim saja di antara kamu," (QS al-Anfal:25).
Kemunkaran, apa pun bentuknya, harus di¬cegah sedini mungkin. Lalu, bagaimana men¬cegah kemunkaran? Apa saja tahapannya? Pemahaman terhadap hal ini merupakan bagian dari Fqh ad-Dakwah yang harus dikua¬sai setiap muslim. Sebab, tidak mustahil, ke¬rancuan pemahaman akan melahirkan tinda¬kan-tindakan yang jauh dari akhlak mulia dan justru memicu kemunkaran yang lebih besar.
Ada beberapa langkah, seperti disebutkan Syaikh Abdul Hamid al-Bilaly dalam Fiqh ad¬Dakwah fi Inkar al-Munkar (hlm. 69-73), yang dapat ditempuh. Pertama, mengenalkan pada mad'u (yang didakwahi) tentang kemunkaran yang dilakukannya. Sebab, bisa saja is melaku-kannya tanpa mengetahui hukumnya. Perlu diperhatikan pula metode pemberitahuan agar lemah lembut dan tidak terkesan menggurui. Terkadang orang menolak nasehat hanya ka¬rena caranya yang tidak tepat, meski menyetujui isinya. Kedua, menasehati. Langkah ini ditem¬puh setelah mad'u mengetahui hokum per¬buatannya. Nasehat agar takut kepada Allah Ta'ala dan mengingatkan akan ancaman-Nya yang disampaikan dengan tutor kata halos dan penuh kelembutan, insya Allah akan meluluhkan hati sang mad'u. Sebab, kecintaan manusia pada kehalusan dan kelembutan adalah fithrah. Firman Allah, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cars yang baik, " (QS an-Nahl: 125).
Ketiga, at-taniif (bersikap tegas dan keras). Langkah ini ditempuh jika kelemahlembutan tak lagi berpengaruh dan mulai tampak unsur¬unsur kesengajaan serta penghinaan terha¬dap nasehat. Yang harus dihindari adalah per¬buatan menghina atau mengungkapkan kata¬kata keji apalagi berbohong. Karena ke¬munkaran tak mungkin dapat dihentikan dengan cara yang munkar juga.
Keempat, dengan tangan dan kekuasaan. Tak diragukan lagi bahwa langkah ini sangat besar pengaruhnya. Inilah hikmahnya mengapa mencegah kemunkaran dengan tangan di¬dahulukan dalam sabda Rasulullah saw, "Siapa yang melihat kemunkaran di antara kalian, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, maka itulah iman yang paling lemah," (HR Muslim). Langkah ini ditempuh, seperti disepakati Ibnu Muflih dalam Al-Aadab asy-Syar'iyyah (I/219), jika cara menasehati dengan lemah lembut dan bijak¬sana, langsung maupun tak langsung, tak membuat mad'u berubah. Qadhi lyyadh, seorang ulama besar dalam madzhab Hambaly, meng¬ajukan syarat bahwa sang da'i harus meyakini agar nahi munkar dengan ta¬ngan/kekuasaan tidak me¬lahirkan kemunkaran yang lebih besar, seperti pembu¬nuhan terhadap dirinya atau orang lain. Jika de¬mikian keadaannya, maka cukup dengan nasehat dan ancaman (Syarah Muslim li an-Nawawi 11125). Ibnu Qu¬damah, dalam Mukhtashar Minhaj al-Qasidhin, menje¬laskan secara gamblang, "Siapa yang yakin ditimpa 'sesuatu yang tidak disukai', maka tidak wajib baginya mengingkari (mencegah dengan tangan—pen). Jika ia yakin akan keselamatannya, maka wajib baginya. Bukan soal takut atau berani secara ngawur, tapi yang harus diperhatikan adalah ke¬seimbangan dan kelurusan tabiat dan perilaku. Yang kami maksudkan dengan 'sesuatu yang tidak disukai' adalah: pemukulan, pem¬bunuhan, perampasan harts, dan perusakan nama baik ke seluruh negeri. Adapun celaan dan caci maki bukan alasan untuk bersikap diam, karena amar ma'ruf biasanya mem¬punyai akibat seperti itu."
Kaidah ini dapat disimpulkan dari Sirah Nabi saw. Untuk menghindari madharat yang lebih besar, Rasulullah saw tidak memerintah¬kan untuk membunuh "biang munafik" Abdul¬lah bin Ubay, sehingga mereka lari dari Islam karena mengira beliau membunuh shahabat¬nya. Beliau juga tidak merenovasi Ka'bah dengan cara menghancurkan dan memba¬ngun ulang sesuai dengan fondasi yang diletakkan oleh Nabiyullah Ibrahim as, untuk menghindari anggapan orang kebanyakan bahwa beliau menghina Tempat Suci. Apalagi banyak di antara mereka yang barn saja memeluk Islam (HR Muslim No. 1333).
Para da'i juga disyaratkan memiliki ke¬mampuan dan kekuasaan dalam menempuh langkah ini, seperti suami terhadap istri, ayah terhadap anak, atau kepala negara terhadap rakyatnya. Tentu saja, masing-masing da'i memiliki kapasitas yang berbeda dalam menggunakan metode ini.
Kelima, dengan ancam¬an. Sebagai misal, 'Jika an¬ds tidak meninggalkan per-buatan tersebut, says akan memukul ands." Keenam, dengan pukulan. "Memukul dengan tangan atau me¬nendang dengan kaki, dan lain-lain, selama tidak meng¬gunakan senjata, boleh dilakukan oleh individu dengan syarat dharurat (tak ada jalan lain lagi—pen), dan melakukannya sesuai keperluan. Jika ia berhenti melakukannya, maka tindakan tersebut juga harus dihentikan," tutur Ibnu Qudamah.
Tak dapat dipungkiri, pemahaman da'i tentang kaidah-kaidah dalam melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar sangat menentu¬kan suksesnya dakwah. Sebab, seperti di¬ungkap oleh seorang bijak, meskipun kita tidak diwajibkan untuk berhasil dalam dakwah, namun jangan sampai dakwah kita gagal. Ands setuju bukan?
Oleh : M Nurkholis Ridwan
Sabili No. 23 Th.IX 16 Mei 2002 / 3 Rabiul Awal 1423