Minggu, 22 Juli 2012

Akal

Akal yang benar selalu menyepakati nash yang shahi ( Ibnu Taimiyah )
Sebenarnya, dimana letak akal dalam Islam? Jika belakangan ini muncul pemikiran untuk merasionalisasikan Islam, itu sama saja dengan mengatakan Islam tidak rasional dan sulit dipahami akal, dan karenanya perlu dirasionalisasikan. Dengan begitu, kita tengah memasuki sebuah wilayah abu-abu bernama "rasio," dimana kebe¬naran sangat bisa diperdebatkan. Kita lalu menyibukkan diri dengan dimensi, warna clan perwajahan dan lupa pada esensi orisinil Islam. Itu yang terjadi.
Disinilah, akidah yang meru¬pakan gugusan keyakinan tran¬sedental melampaui batas-batas indrawi dan rasionalitas, menun¬tut bagian. Berangkat dari watak proporsional yang mutlak dianut oleh manusia, dimana setiap bagian dari diri manusia mempunyai institusi dan fungsi tersendiri. Jika disfungsi dan disposisi terjadi, equi¬librium yang diinginkan musnah seketika, dan ujung-ujungnya: pemberontakan. Pemberon¬takan yang melahirkan pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan menelurkan gugatan terhadap keberdayaan syariah Sang Pencipta untuk mengatur kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
Ada dua jalan guns memahami rasionalitas hukum Pemilik semesta alam. Yang satu melalui jalan panjang berliku, yang belum tentu tiba di tujuan. Yang lain, melalui jalan kompas yang jika dipenuhi konsekwensinya, ada jaminan untuk tiba di tujuan; yakni, beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Keimanan tidak mengharuskan pelakunya meng¬hapus segala kepekaan yang dimilikinya untuk memahami dan merasakan keadilan Tuhan pada segala aturan-Nya. Sebaliknya, keimanan hanya dapat mencapai titik kulminasinya, jika clibarengi dengan upaya gigih mengelaborasi pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah atau dalam ayat-ayat semesta. Perenungan clan pemikiran terhadap dua ayat ilahiyah ini, yang dibangun di atas basis keimanan yang lurus sesuai contoh Rlsulullah saw, merupakan pengembaraan intelektual yang tak bertepi. Dalam pengembaraan ini, seorang manusia dengan kejeniusan otaknya, jika boleh bertamsil hanyalah setetes air di lautan. Karenanya, kesombongan, tinggi hati dan me¬ngingkari kebenaran adalah sikap-sikap yang tidak saja menyesatkan tapi jugs pengkhianatan terhadap pemahaman akal, dimana ia masih mengakui dimensi absurditas dan keal¬ paan yang merupakan fitrah manusia.
"Dan tidaklah kamu Jibed penge¬tahuan melainkan sedikit," (QS al-Isra':85)
Bagi penekun disiplin ilmu Ushul Fiqh, yang merupakan salah satu pilar yurispundensi Islam, akan menemui fakta eksplorasi akal secara luar biasa dalam perdebatan habis habisan para ulama seputar masalah Qiyas (analogi) dan ka¬sus-kasus penerapannya. Menarik¬nya, adu argumentasi itu tunduk pada rambu-rambu yang disepakati, sehingga tidak liar dan pupus tanpa hasil. Itulah sebabnya, syariah Islam dapat menjadi anugrah bagi umat manusia hingga akhir zaman. Kenyataan ini cuma ilustrasi dimana akal dapat berfungsi efektif dan sehat tanpa perlu terbius oleh wacana-wacana menyesatkan yang tak jelas entah kemana.
Islam sangat menghormati akal (QS ash¬Shaffat:138) jika masih ia bermain di wilayahnya. Dengan bijak, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang terlibat langsung dalam perdebatan sengit dengan para filosof Abad Pertengahan, mengajukan preposisi ringkas dan sederhana, 'Akal yang benar selalu menyepakati nash yang shahih." Memang, masalahnya sederhana. Lha, kok repot?
Oleh: M. Nurkholis Ridwan