Bagi seorang muslim, setiap ucap
dan geraknya harus
bernilai kebaikan.
Kalau tidak, lebih baik diam.
Diam itu emas. Demikian pepatah mengatakan. Seorang ulama sufi, Wuhaib bin Walid juga berkata, "Hikmah itu terdiri dari sepuluh bagian. Sembilan bagian di antaranya adalah diam." Rasulullah saw. me¬ngingatkan bahwa diam adalah pilihan terbaik di kala kita tak mampu lagi mengatakan ke¬baikan. "Barangsiapa yang percaya kepada Al¬lah dan hari kiamat, hendaknya is berkata baik atau diam." (HR Bukhari-Muslim).
Umar bin Khathab pernah mengingatkan, "Barangsiapa yang banyak bicaranya, banyak juga salahnya." Seorang sufi terkemuka, Ibrahim bin Adham pun menguatkan ucapan Umar, "Manusia sering celaka karena dua hal, yaitu kebanyakan harta dan kelebihan bicara."
Al-Our'an secara tegas melarang kita men¬caci maki, mengumpat, mencerca, mengolok¬olok, dan mengeluarkan kata-kata kotor lainnya. Sebab, bisa jadi belum tentu orang yang melontarkannya lebih balk dari lawannya. Karena kata-kata kotor sendiri tak mungkin keluar dari jiwa yang bersih.
Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan, jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok¬olokkan) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil¬memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah o¬rang-orang yang zalim. " (OS Al-Hujuraat: 11)
Diam tak hanya berarti berhenti bicara. Namun, bisa pula berhenti berbuat. Tak melakukan apapun kecuali kebaikan. Asmad bin Asram yang datang meminta nasihat kepada Rasulullah, dengan kalimat retoris, beliau balik bertanya, "Apakah engkau mempunyai tangan¬mu sendiri?" Asmad menjawab, "Kalau tidak memiliki tangan, apalagi yang saga miliki?" Rasulullah bersabda, "Kalau demikian, janganlah mempergunakan tanganmu, kecuali untuk kebaikan. Dan janganlah memper¬gunakan lidahmu, kecuali untuk kebaikan." (HR Bukhari Muslim).
Namun demikian, diam tak selamanya dibe¬narkan. Selama kita mampu berkata dan ber¬buat benar, maka tak ada alasan untuk diam. Apalagi dalam konteks amar ma'ruf nahi mun-kar. Mencliarnkan kemungkaran atau menyem¬bunyikan kebenaran sama-sama merupakan kesalahan fatal.
"Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengatasinya dengan tangannya (kekuasaannya). Jika tidak mampu hendaklah dengan lidahnya (kata-kata). Jika tidak mampu, barulah dengan hati. Dan inilah selemah-lemah iman." Demikian hadits shahih yang diriwayakan Bukhari dan Muslim.
Diperlukan kearifan untuk bisa menentukan pilihan secara benar. Kapan saatnya harus diam atau berbicara dan menentukan sikap. Semua¬nya tak boleh didasarkan atas keraguan. Sebab, kesalahan memilih akan menggiring manusia pada kebinasaan.
Mirwan Junaid
Sabili No. 4TH.IX 15 Agustus 2001/25 JUMADIL AWAL 1422
dan geraknya harus
bernilai kebaikan.
Kalau tidak, lebih baik diam.
Diam itu emas. Demikian pepatah mengatakan. Seorang ulama sufi, Wuhaib bin Walid juga berkata, "Hikmah itu terdiri dari sepuluh bagian. Sembilan bagian di antaranya adalah diam." Rasulullah saw. me¬ngingatkan bahwa diam adalah pilihan terbaik di kala kita tak mampu lagi mengatakan ke¬baikan. "Barangsiapa yang percaya kepada Al¬lah dan hari kiamat, hendaknya is berkata baik atau diam." (HR Bukhari-Muslim).
Umar bin Khathab pernah mengingatkan, "Barangsiapa yang banyak bicaranya, banyak juga salahnya." Seorang sufi terkemuka, Ibrahim bin Adham pun menguatkan ucapan Umar, "Manusia sering celaka karena dua hal, yaitu kebanyakan harta dan kelebihan bicara."
Al-Our'an secara tegas melarang kita men¬caci maki, mengumpat, mencerca, mengolok¬olok, dan mengeluarkan kata-kata kotor lainnya. Sebab, bisa jadi belum tentu orang yang melontarkannya lebih balk dari lawannya. Karena kata-kata kotor sendiri tak mungkin keluar dari jiwa yang bersih.
Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan, jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok¬olokkan) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil¬memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah o¬rang-orang yang zalim. " (OS Al-Hujuraat: 11)
Diam tak hanya berarti berhenti bicara. Namun, bisa pula berhenti berbuat. Tak melakukan apapun kecuali kebaikan. Asmad bin Asram yang datang meminta nasihat kepada Rasulullah, dengan kalimat retoris, beliau balik bertanya, "Apakah engkau mempunyai tangan¬mu sendiri?" Asmad menjawab, "Kalau tidak memiliki tangan, apalagi yang saga miliki?" Rasulullah bersabda, "Kalau demikian, janganlah mempergunakan tanganmu, kecuali untuk kebaikan. Dan janganlah memper¬gunakan lidahmu, kecuali untuk kebaikan." (HR Bukhari Muslim).
Namun demikian, diam tak selamanya dibe¬narkan. Selama kita mampu berkata dan ber¬buat benar, maka tak ada alasan untuk diam. Apalagi dalam konteks amar ma'ruf nahi mun-kar. Mencliarnkan kemungkaran atau menyem¬bunyikan kebenaran sama-sama merupakan kesalahan fatal.
"Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengatasinya dengan tangannya (kekuasaannya). Jika tidak mampu hendaklah dengan lidahnya (kata-kata). Jika tidak mampu, barulah dengan hati. Dan inilah selemah-lemah iman." Demikian hadits shahih yang diriwayakan Bukhari dan Muslim.
Diperlukan kearifan untuk bisa menentukan pilihan secara benar. Kapan saatnya harus diam atau berbicara dan menentukan sikap. Semua¬nya tak boleh didasarkan atas keraguan. Sebab, kesalahan memilih akan menggiring manusia pada kebinasaan.
Mirwan Junaid
Sabili No. 4TH.IX 15 Agustus 2001/25 JUMADIL AWAL 1422