Marah itu potensi sekaligus tragedi bagi manusia. la jadi potensi kreatif, jika diarahkan menjadi energi yang meng-, gerakkan manusia, untuk menemukan inovasi¬inovasi barn atas setiap keadaan yang tidak sesuai dengan norms, etika, danprinsip-prinsip yang disepakati bersama. Atau, dalam konteks yang lebih fundamental, yaitu nilai-nilai keislaman danaqidah. Singkatnya, 'marah yang kreatif' adalah kemarahan yang terolah. Baik secara individual maupun kolektif untuk mengubah keadaan dari yang tidak islami menjadi lebih islami.
Sebaliknya, marah yang mengkerdilkan, adalah marah yang menebarkan aroma fitnah dan ke¬bencian. Marah yang merubah ukhuwah menjadi kasak-kusuk dan saling curiga. Marah karena nafsu dan kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri.
Islam, sebagai agama paripurna, ter¬nyata tidak hanya me¬ngatur soal-soal ketatanegaraan, namun jugs mengatur hat-hat "kecil" yang berhubungan dengan "manajemen marah" ini. Islam mengakui dan menghargai bahwa potensi marah itu ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya, mengapa ia memberi koridor dan saluran yang tepat bagi "pelampiasan kemarahan" ini. Kemarahan yang dilakukan seorang muslim karena Tuhannya dan agamanya.
Itulah rahasianya, mengapa Islam mewajibkan kita berjihad ketika dakwah Islam dihalangi, atau ketika sekelompok saudara kita dianiaya secara semena-mena. Meski secara fitrah kemanusiaan, membunuh adalah perkara yang tidak disukai manusia (QS al-Baqarah:216). Itu, karena Islam ingin mentarbiyah umatnya dengan 'manajemen marah' yang benar. Bahwa marah yang benar, adalah marah yang dilakukan dan diniatkan karena Allah dan semata-mata berorientasi akhirat.
Itu juga yang menjelaskan, mengapa Ra¬sulullah Saw tak pernah menggubris cercaan, cacian dan hinaan yang mengarah kepada diri pribadinya. Namun, ketika Islam dilecehkan, beliau tak segan memimpin sendiri pertempuran melawan kafir Qurays, meskipun mereka masih terbilang kerabat beliau sendiri. Hal itu juga yang menjelaskan kemarahannya kepada Usamah bin Said, putra anak angkat beliau, Zaid bin Haritsah, ketika mengajukan keringanan huduud, hanya karena yang kebetulan melakukan pencurian adalah seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum.
Maka, jika Islam memerintahkan orang tua memukul anaknya yang ticlak shalat, menganjurkan setiap muslim agar saling nasehat menasehati balk sebagai pemimpin ataupun yang dipimpin, bukan berarti Islam sedang mengajarkan saling benci. Ia sekadar upaya eksplo¬rasi dan ekpresi cinta yang benar. Saat dimana kita menempatkan hak Allah" di atas segala¬galanya. Karenanya, jika ada seorang muslim yang 'marah' kepada saudaranya, karena ke¬zaliman yang diperbuat, lalu mengkritik secara bijak, sesungguhnya is sedang mengungkapkan cintanya secara benar.
Saudaraku, di dunia ini, ada banyak hal dan keadaan dimana idealisme dan cita-cita tak selamanya nyambung. Berbagai paracdoks yang kadang mengundang kegeraman, protes dan rasa marah. Jika hal itu menimpa kita, lalu membuat kita “marah”, mari kita lakukan dengan ikhlas demi meraih ridha-Nya semata. Bukan karena egoisme dankecintaan berlebihan terhadap diri sendiri. Tentu dengan nasehat yang lembut dan imbauan yang bijak. Sebab, Insya Allah, itu akan lebih kekal dan terasa manfaatnya. Wallahu a’lam.
M Adnan Firdaus
Sebaliknya, marah yang mengkerdilkan, adalah marah yang menebarkan aroma fitnah dan ke¬bencian. Marah yang merubah ukhuwah menjadi kasak-kusuk dan saling curiga. Marah karena nafsu dan kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri.
Islam, sebagai agama paripurna, ter¬nyata tidak hanya me¬ngatur soal-soal ketatanegaraan, namun jugs mengatur hat-hat "kecil" yang berhubungan dengan "manajemen marah" ini. Islam mengakui dan menghargai bahwa potensi marah itu ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya, mengapa ia memberi koridor dan saluran yang tepat bagi "pelampiasan kemarahan" ini. Kemarahan yang dilakukan seorang muslim karena Tuhannya dan agamanya.
Itulah rahasianya, mengapa Islam mewajibkan kita berjihad ketika dakwah Islam dihalangi, atau ketika sekelompok saudara kita dianiaya secara semena-mena. Meski secara fitrah kemanusiaan, membunuh adalah perkara yang tidak disukai manusia (QS al-Baqarah:216). Itu, karena Islam ingin mentarbiyah umatnya dengan 'manajemen marah' yang benar. Bahwa marah yang benar, adalah marah yang dilakukan dan diniatkan karena Allah dan semata-mata berorientasi akhirat.
Itu juga yang menjelaskan, mengapa Ra¬sulullah Saw tak pernah menggubris cercaan, cacian dan hinaan yang mengarah kepada diri pribadinya. Namun, ketika Islam dilecehkan, beliau tak segan memimpin sendiri pertempuran melawan kafir Qurays, meskipun mereka masih terbilang kerabat beliau sendiri. Hal itu juga yang menjelaskan kemarahannya kepada Usamah bin Said, putra anak angkat beliau, Zaid bin Haritsah, ketika mengajukan keringanan huduud, hanya karena yang kebetulan melakukan pencurian adalah seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum.
Maka, jika Islam memerintahkan orang tua memukul anaknya yang ticlak shalat, menganjurkan setiap muslim agar saling nasehat menasehati balk sebagai pemimpin ataupun yang dipimpin, bukan berarti Islam sedang mengajarkan saling benci. Ia sekadar upaya eksplo¬rasi dan ekpresi cinta yang benar. Saat dimana kita menempatkan hak Allah" di atas segala¬galanya. Karenanya, jika ada seorang muslim yang 'marah' kepada saudaranya, karena ke¬zaliman yang diperbuat, lalu mengkritik secara bijak, sesungguhnya is sedang mengungkapkan cintanya secara benar.
Saudaraku, di dunia ini, ada banyak hal dan keadaan dimana idealisme dan cita-cita tak selamanya nyambung. Berbagai paracdoks yang kadang mengundang kegeraman, protes dan rasa marah. Jika hal itu menimpa kita, lalu membuat kita “marah”, mari kita lakukan dengan ikhlas demi meraih ridha-Nya semata. Bukan karena egoisme dankecintaan berlebihan terhadap diri sendiri. Tentu dengan nasehat yang lembut dan imbauan yang bijak. Sebab, Insya Allah, itu akan lebih kekal dan terasa manfaatnya. Wallahu a’lam.
M Adnan Firdaus