`Anak Adam...
Dirimu, dirimu
Dirimu hanya satu
Kalau dia selamat, selamatlah engkau
Kalau dia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang selamat tak
dapat menolongmu
Dan t1ap-dap nikmat yang bukan
surga adalah lama
Dan tiap-tiap bala bencana yang
bukan neraka, mudah," (Hasan al-Bashri)
Dirimu, dirimu
Dirimu hanya satu
Kalau dia selamat, selamatlah engkau
Kalau dia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang selamat tak
dapat menolongmu
Dan t1ap-dap nikmat yang bukan
surga adalah lama
Dan tiap-tiap bala bencana yang
bukan neraka, mudah," (Hasan al-Bashri)
Saudaraku, di tengah jenak-jenak kehidupan yang keras, menggoda dan melenakan, marl, dengan segenap kejernihan pikiran dan akal, kita renungi bait demi bait syair di atas. Saudaraku, kita mungkin telah terlalu asyik 'bercumbu' dengan dunia. Bercinta dengan segala fatamorgananya yang menipu dan menjebak. Kelalaian yang membuat kita lupa akan eksistensi dan hakikat diri: siapa kita, dari mana berasal, dan ke mana muara kehidupan ini akan berakhir dan dipertanggungjawabkan.
Di hari Kiamat kelak, para nabi dan rasul kecuali Rasulullah saw tidak memiliki hak memberikan syafaat pada orang lain. Lalu mengapa kita yang hanya 'secuil dzarrah' ini dan tidak memiliki daya apa pun sering lupa diri?.. Sesungguhnya, apa pun jabatan dan posisi kita di dunia ini, akhirnya setiap diri kita akan mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah SWT. "Dan Waklah bagi ma¬nuila itu, kecuali baginya apa (amal shalih) yang dikerjakannya," (QS an-Najm: 39).
Pada hari yang maha dahsyat itu, tak ada yang dapat menolong kita selain did dan amal kita sendiri, yang akan mengantarkan kita pada ridha dan am¬punan Allah. Sebab pada hari itu, keadilan akan benar-benar ditegakkan dan tak seorang pun yang akan terzalimi meski seberat biji dzarrah (QS az-Zalzalah: 6-7). Karenanya, tak heran jika kelak, setiap kita akan berlepas diri dari siapa saja di dunia ini yang teramat kita cintai. Sebab, pada had itu tidak akan bermanfaat lagi harta dan anak-anak kita, kecuali mereka yang mendatangi Allah dengan hati yang bersih.
Saudara, ibu, bapak, istri dan anak-anak kita, akan terabaikan. Karena kita semua disibukkan oleh perkara kita masing-masing (QS Abasa: 34-38). Saudaraku, tidak semua ego itu terlarang. "Ego" dalam urusan ukhrawi bahkan dianjurkan dalam Islam. "Ego" terhadap akhirat yang membuat kita tamak, rakus, dan ngotot Bukan karena berebut dunia, tapi karena kita selalu termotivasi untuk berkompetisi dalam berbuat baik. Seperti yang telah diteladankan Rasulullah saw dan para sahabatnya, yang mengantarkan mereka menjadi khairu ummah. Itu juga yang menjelaskan, mengapa para sahabat selalu berkompetisi dalam segala urusan, "besar" atau "kecil".
"Ego" terhadap akhiratlah yang semestinya membuat kita kemaruk terhadap kebaikan, dan membuat kita tidak terlalu berkepentingan untuk memata-matai' kekurangan-kekurangan saudara kita sesama muslim. Sebab, tak ada jaminan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan akan memasukkan ke dalam surga, jika bukan karena rahmat, kasih sayang, dan hidayah Allah.
Mari berdoa kepada Allah, semoga setiap individu bangsa ini dianugerahkan ego yang benar. Rasa ego yang membuat bangsa ini selalu mawas diri akan segala khilaf dan kesalahannya. Lalu bertaubat dan kembali kepada-Nya, meski kekuasaan Allah SWT tak pernah bertambah dan berkurang karena ketaatan dan maksiat yang kita lakukan. Semoga bangsa ini benar-benar menjadi pionir bagi kebangkitan Islam di masa depan. Wallahu a1arn bisshawab.
Oleh : M. Adnan Firdaus
Sabili No.21 Th.IX 18 April 2002/ 5 Shafar 1423
Di hari Kiamat kelak, para nabi dan rasul kecuali Rasulullah saw tidak memiliki hak memberikan syafaat pada orang lain. Lalu mengapa kita yang hanya 'secuil dzarrah' ini dan tidak memiliki daya apa pun sering lupa diri?.. Sesungguhnya, apa pun jabatan dan posisi kita di dunia ini, akhirnya setiap diri kita akan mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah SWT. "Dan Waklah bagi ma¬nuila itu, kecuali baginya apa (amal shalih) yang dikerjakannya," (QS an-Najm: 39).
Pada hari yang maha dahsyat itu, tak ada yang dapat menolong kita selain did dan amal kita sendiri, yang akan mengantarkan kita pada ridha dan am¬punan Allah. Sebab pada hari itu, keadilan akan benar-benar ditegakkan dan tak seorang pun yang akan terzalimi meski seberat biji dzarrah (QS az-Zalzalah: 6-7). Karenanya, tak heran jika kelak, setiap kita akan berlepas diri dari siapa saja di dunia ini yang teramat kita cintai. Sebab, pada had itu tidak akan bermanfaat lagi harta dan anak-anak kita, kecuali mereka yang mendatangi Allah dengan hati yang bersih.
Saudara, ibu, bapak, istri dan anak-anak kita, akan terabaikan. Karena kita semua disibukkan oleh perkara kita masing-masing (QS Abasa: 34-38). Saudaraku, tidak semua ego itu terlarang. "Ego" dalam urusan ukhrawi bahkan dianjurkan dalam Islam. "Ego" terhadap akhirat yang membuat kita tamak, rakus, dan ngotot Bukan karena berebut dunia, tapi karena kita selalu termotivasi untuk berkompetisi dalam berbuat baik. Seperti yang telah diteladankan Rasulullah saw dan para sahabatnya, yang mengantarkan mereka menjadi khairu ummah. Itu juga yang menjelaskan, mengapa para sahabat selalu berkompetisi dalam segala urusan, "besar" atau "kecil".
"Ego" terhadap akhiratlah yang semestinya membuat kita kemaruk terhadap kebaikan, dan membuat kita tidak terlalu berkepentingan untuk memata-matai' kekurangan-kekurangan saudara kita sesama muslim. Sebab, tak ada jaminan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan akan memasukkan ke dalam surga, jika bukan karena rahmat, kasih sayang, dan hidayah Allah.
Mari berdoa kepada Allah, semoga setiap individu bangsa ini dianugerahkan ego yang benar. Rasa ego yang membuat bangsa ini selalu mawas diri akan segala khilaf dan kesalahannya. Lalu bertaubat dan kembali kepada-Nya, meski kekuasaan Allah SWT tak pernah bertambah dan berkurang karena ketaatan dan maksiat yang kita lakukan. Semoga bangsa ini benar-benar menjadi pionir bagi kebangkitan Islam di masa depan. Wallahu a1arn bisshawab.
Oleh : M. Adnan Firdaus
Sabili No.21 Th.IX 18 April 2002/ 5 Shafar 1423