Suatu ketika, Caroline Onassis pernah ditanya wartawan Prancis, "Apa anda, merasa bahwa anda wanita terkaya?" Putri mendiang trilyuner Onassis itu menjawab, "Ya, saya adalah wanita terkaya. Tapi, saya adalah wanita yang paling sengsara." Memang nyatanya, setelah menikah dengan empat pria dari empat negara berbeda, Caroline terus hidup dalam kegelisahan dan keraguan. Hingga akhirnya wanita kaya ini ditemukan tewas di sebuah apartemen di Argen¬tina tanpa diketahui pasti sebab kematiannya.
Itulah sepenggal cerita bagaimana anak cucu Adam berusaha mendefinisikan kebahagiaan dan berusaha mencarinya. Dalam sebuah perjalanan panjang yang melelahkan, Caroline baru bisa me¬mahami bahwa harta, popularitas, jabatan, dan segala pernak-pernik duniawi lainnya ternyata bu¬kanlah makna kebahagiaan itu sendiri. Ada esensi yang lebih dalam tentang kehidupan dan kebaha¬giaan, yang tidak dapat diterangkan dengan materi.
Pandangan tentang kebahagian sangat kental dipengaruhi oleh pemahaman tentang hakikat kehidupan. Memahami kehidupan hanya sebatas capaian-capaian material akan membuat orang mengejar materi dan meletakkannya sebagai cita¬cita tertinggi, meski dengan segala cara. Sedang orang yang berpendapat kebahagiaan dapat dicapai dengan menikmatkan diri dalam kesunyian dan menjauhi keduniawian akan berusaha mengucilkan diri dan menjauh dari keramaian. Dengan keluwesan dan kedalaman ajarannya, Islam menempuh jalan tengah. Bahwa kebaha¬giaan dapat dicapai tanpa 'mempertuhankan' dunia, atau sebaliknya dengan menjauhinya. Dunia cuma sarana untuk menjemput bahagia, jika dipergunakan sesuai dengan aturan Allah. Saat dunia berubah menjadi tujuan, kebahagiaan hanya tinggal di awang-awang.
Allah SWT memberi panduan (guidance) yang tegas dan jelas kepada orang-orang beriman tentang bagaimana mengisi hidup di dunia, yaitu dengan beriman dan beramal shalih (QS al-Ashr: 1 - 3). Keimanan bukan sekadar pengakuan tentang keesaan Allah (tauhid) di bibir, tapi meminta pembuktian-pembuktian kongkrit melalui amal shalih. Karena itulah seorang mukmin akan terus berusaha mengisi dan memaknai kehidupan secara paripurna. la menyadari betel bahwa mengerjakan segala yang diperintahkan Allah akan mengantarkannya pada ketentraman dan keda¬maian. "Siapa saja yang beramal kebajikan baik laki-laki maupun perempuan dalam, keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesung¬guhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kelakan," (QS an-Nahl: 97).
Keimanan yang kokoh dan amal shalih yang kontinyu, dengan izin Allah akan mengantarkan seorang mukmin pada kehidupan yang bebas dari tekanan, ketakutan, dan kesedihan. Bukan berarti ia lepas dari problematika hidup sehari-hari. Namun, keteguhan iman dan kelurusan akidah membuatnya mampu tersenyum dalam kese¬dihan, tegar dalam tekanan, dan tenang dalam kekhawatiran. "Sungguh mengherankan urusan seorang mukmin. Segala urusannya berbuah kebaikan. Sesuatu yang tidak dimiliki selain muk¬min. Jika mendapat harta atau kesuksesan, ia selalu bersyukur, makajadilah itu kebaikan baginya. Dan jika mengalami penderitaan ia selalu sabar, dan itu juga kebaikan baginya," (HR Muslim).
Gambaran Rasulullah saw di atas dapat dipahami mengingat seorang mukmin beriman pada segala ketetapan Allah (qadha dan qadar) yang merupakan salah sate pilar rukun iman. Segala usaha yang ia lakukan, hasilnya selalu disandarkan pada Allah SWT. Jika sukses, ia tidak menjadi jumawa, sombong, dan menepuk dada. Sebaliknya, ia menundukkan kepada penuh ketawadhuan dan menegaskan bahwa semuanya adalah karunia-Nya. Dan jika gagal, kesabaran menjadi perisainya sem¬bari meyakini bahwa. kete¬tapan Allah adalah yang terbaik untuknya. Di sam¬ping itu, ia terns berusaha dengan giat disertai doa dan tawakkal. Hasan Bas¬hri pernah bertutur, "Aku mengetahui dengan yakin bahwa rezki milikku takkan pernah bisa diambil orang lain, maka hatiku menjadi tenang."
Di samping itu, se¬orang mukmin sangat me¬mahami bahwa hakikat kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah bukanlah beban, tapi kemaslahatannya terpulang pada dirinya. Karenanya, ia berusaha mengerjakannya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Kepatuhan seperti inilah yang dapat melahirkan ketakwaan. Sebuah kepatuhan yang lahir dari pemahaman dalam tentang syariat Islam. Tak heran, jika Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya menuntut ilmu, khususnya yang berkenaan dengan syariat Islam. Agar mereka dapat membaca pesan-pesan-Nya secara tersurat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maupun tersirat dalam ayat-ayat kauniyah-Nya.
Namun begitu, kita sering berjumpa de¬ngan berbagai problema dalam kehidupan se¬hari-hari yang kerap membuat kita pusing. Ha¬rus dihadapi dan tak mungkin lari. Terkadang pula ada kejenuhan yang menghampiri. Untuk itu, perlu ada kiat untuk menghadapinya. Dr. Nashir Sulaiman al-Umar dalam as-Sa'aadah baina al¬Wahm wa al-Haqiqah mengajukan beberapa resep; pertama, banyak dzikir dan membaca al-Qur'an. Rasulullah saw banyak mengajarkan dzikir, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Dorongan-dorongan untuk membaca al-Qur'an dan merenu¬ngi isinya juga banyak dibentangkan dalam sunnah beliau. Semuanya bertujuan untuk mengingatkan Seorang mukmin pada Rabb-nya dan tugas dirinya di dunia ini. Wetahuilah, dengan dzikir kepada Al¬lah hati menjadi tenang," (QS ar-Ra'd: 28).
Kedua, melihat pada orang yang lebih rendah dari sisi materi, dan yang lebih tinggi dari sisi akhirat. Sebab, kemuliaan di ha¬dapan Allah diukur dari ketakwaan seseorang. Bukan oleh banyaknya materi yang dimilikinya. Sebaliknya, jika orang melihat ada orang yang lebih tinggi dari sisi materi, yang terjadi adalah per¬saingan meraih keme¬wahan, iri dengki dan khia-nat. Penyakit mengerikan inilah yang menimpa umat Islam, sehingga lalai memikirkan masa depan mereka. Jauh-jauh had Rasulullah saw mengingatkan, "Lihatlah orang-or¬ang yang di bawah kamu dan jangan kamu lihat orang yang lebih tinggi dari kamu. Maka hal itu akan lebih pasti untuk tidak meremehkan nikmat Allah," (HR Muslim).
Ketiga, berpikir praktis, tidak rakus dunia, dan selalu siap untuk coati. Seorang muslim menja¬dikan ridha Allah sebagai cita-cita tertingginya. la juga menyadad bahwa kebahagiaan yang hakiki ada di akhirat kelak. Kesadaran inilah yang menjadikannya senantiasa qanaah (bersikap cukup did) dan tidak rakus terhadap segala kemewahan duniawi. Inilah yang dicontohkan oleh generasi Islam awal. Ingatan mereka tak pernah lepas dari akhirat. Digambarkan, seolah¬olah ketika memasukkan roti ke dalam mulut, mereka tidak tahu apakah sempat mengunyah¬nya atau tidak, karena keburu dijemput ajal. Dengan bijak, Syekh Abdur Rahman as-Sa'dy menerangkan resep ini dalam kalimat ringkas, "Hidup itu pendek, karenanya jangan dipendekkan lagi dengan lamunan dan perbuatan dosa."
Kemuliaan dan kebahagiaan adalah milik or¬ang-orang yang selalu menekurkan kepala mengingat akhirat, sembari mengayuh sampan dunia dengan penuh harap. Bila bahagia datang menjelang.
Oleh : M. Nurkholis Ridwan
Sabili No. 26 Th. 27 Juli 2002 / 16 Rabiul Akhir
Itulah sepenggal cerita bagaimana anak cucu Adam berusaha mendefinisikan kebahagiaan dan berusaha mencarinya. Dalam sebuah perjalanan panjang yang melelahkan, Caroline baru bisa me¬mahami bahwa harta, popularitas, jabatan, dan segala pernak-pernik duniawi lainnya ternyata bu¬kanlah makna kebahagiaan itu sendiri. Ada esensi yang lebih dalam tentang kehidupan dan kebaha¬giaan, yang tidak dapat diterangkan dengan materi.
Pandangan tentang kebahagian sangat kental dipengaruhi oleh pemahaman tentang hakikat kehidupan. Memahami kehidupan hanya sebatas capaian-capaian material akan membuat orang mengejar materi dan meletakkannya sebagai cita¬cita tertinggi, meski dengan segala cara. Sedang orang yang berpendapat kebahagiaan dapat dicapai dengan menikmatkan diri dalam kesunyian dan menjauhi keduniawian akan berusaha mengucilkan diri dan menjauh dari keramaian. Dengan keluwesan dan kedalaman ajarannya, Islam menempuh jalan tengah. Bahwa kebaha¬giaan dapat dicapai tanpa 'mempertuhankan' dunia, atau sebaliknya dengan menjauhinya. Dunia cuma sarana untuk menjemput bahagia, jika dipergunakan sesuai dengan aturan Allah. Saat dunia berubah menjadi tujuan, kebahagiaan hanya tinggal di awang-awang.
Allah SWT memberi panduan (guidance) yang tegas dan jelas kepada orang-orang beriman tentang bagaimana mengisi hidup di dunia, yaitu dengan beriman dan beramal shalih (QS al-Ashr: 1 - 3). Keimanan bukan sekadar pengakuan tentang keesaan Allah (tauhid) di bibir, tapi meminta pembuktian-pembuktian kongkrit melalui amal shalih. Karena itulah seorang mukmin akan terus berusaha mengisi dan memaknai kehidupan secara paripurna. la menyadari betel bahwa mengerjakan segala yang diperintahkan Allah akan mengantarkannya pada ketentraman dan keda¬maian. "Siapa saja yang beramal kebajikan baik laki-laki maupun perempuan dalam, keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesung¬guhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kelakan," (QS an-Nahl: 97).
Keimanan yang kokoh dan amal shalih yang kontinyu, dengan izin Allah akan mengantarkan seorang mukmin pada kehidupan yang bebas dari tekanan, ketakutan, dan kesedihan. Bukan berarti ia lepas dari problematika hidup sehari-hari. Namun, keteguhan iman dan kelurusan akidah membuatnya mampu tersenyum dalam kese¬dihan, tegar dalam tekanan, dan tenang dalam kekhawatiran. "Sungguh mengherankan urusan seorang mukmin. Segala urusannya berbuah kebaikan. Sesuatu yang tidak dimiliki selain muk¬min. Jika mendapat harta atau kesuksesan, ia selalu bersyukur, makajadilah itu kebaikan baginya. Dan jika mengalami penderitaan ia selalu sabar, dan itu juga kebaikan baginya," (HR Muslim).
Gambaran Rasulullah saw di atas dapat dipahami mengingat seorang mukmin beriman pada segala ketetapan Allah (qadha dan qadar) yang merupakan salah sate pilar rukun iman. Segala usaha yang ia lakukan, hasilnya selalu disandarkan pada Allah SWT. Jika sukses, ia tidak menjadi jumawa, sombong, dan menepuk dada. Sebaliknya, ia menundukkan kepada penuh ketawadhuan dan menegaskan bahwa semuanya adalah karunia-Nya. Dan jika gagal, kesabaran menjadi perisainya sem¬bari meyakini bahwa. kete¬tapan Allah adalah yang terbaik untuknya. Di sam¬ping itu, ia terns berusaha dengan giat disertai doa dan tawakkal. Hasan Bas¬hri pernah bertutur, "Aku mengetahui dengan yakin bahwa rezki milikku takkan pernah bisa diambil orang lain, maka hatiku menjadi tenang."
Di samping itu, se¬orang mukmin sangat me¬mahami bahwa hakikat kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah bukanlah beban, tapi kemaslahatannya terpulang pada dirinya. Karenanya, ia berusaha mengerjakannya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Kepatuhan seperti inilah yang dapat melahirkan ketakwaan. Sebuah kepatuhan yang lahir dari pemahaman dalam tentang syariat Islam. Tak heran, jika Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya menuntut ilmu, khususnya yang berkenaan dengan syariat Islam. Agar mereka dapat membaca pesan-pesan-Nya secara tersurat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maupun tersirat dalam ayat-ayat kauniyah-Nya.
Namun begitu, kita sering berjumpa de¬ngan berbagai problema dalam kehidupan se¬hari-hari yang kerap membuat kita pusing. Ha¬rus dihadapi dan tak mungkin lari. Terkadang pula ada kejenuhan yang menghampiri. Untuk itu, perlu ada kiat untuk menghadapinya. Dr. Nashir Sulaiman al-Umar dalam as-Sa'aadah baina al¬Wahm wa al-Haqiqah mengajukan beberapa resep; pertama, banyak dzikir dan membaca al-Qur'an. Rasulullah saw banyak mengajarkan dzikir, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Dorongan-dorongan untuk membaca al-Qur'an dan merenu¬ngi isinya juga banyak dibentangkan dalam sunnah beliau. Semuanya bertujuan untuk mengingatkan Seorang mukmin pada Rabb-nya dan tugas dirinya di dunia ini. Wetahuilah, dengan dzikir kepada Al¬lah hati menjadi tenang," (QS ar-Ra'd: 28).
Kedua, melihat pada orang yang lebih rendah dari sisi materi, dan yang lebih tinggi dari sisi akhirat. Sebab, kemuliaan di ha¬dapan Allah diukur dari ketakwaan seseorang. Bukan oleh banyaknya materi yang dimilikinya. Sebaliknya, jika orang melihat ada orang yang lebih tinggi dari sisi materi, yang terjadi adalah per¬saingan meraih keme¬wahan, iri dengki dan khia-nat. Penyakit mengerikan inilah yang menimpa umat Islam, sehingga lalai memikirkan masa depan mereka. Jauh-jauh had Rasulullah saw mengingatkan, "Lihatlah orang-or¬ang yang di bawah kamu dan jangan kamu lihat orang yang lebih tinggi dari kamu. Maka hal itu akan lebih pasti untuk tidak meremehkan nikmat Allah," (HR Muslim).
Ketiga, berpikir praktis, tidak rakus dunia, dan selalu siap untuk coati. Seorang muslim menja¬dikan ridha Allah sebagai cita-cita tertingginya. la juga menyadad bahwa kebahagiaan yang hakiki ada di akhirat kelak. Kesadaran inilah yang menjadikannya senantiasa qanaah (bersikap cukup did) dan tidak rakus terhadap segala kemewahan duniawi. Inilah yang dicontohkan oleh generasi Islam awal. Ingatan mereka tak pernah lepas dari akhirat. Digambarkan, seolah¬olah ketika memasukkan roti ke dalam mulut, mereka tidak tahu apakah sempat mengunyah¬nya atau tidak, karena keburu dijemput ajal. Dengan bijak, Syekh Abdur Rahman as-Sa'dy menerangkan resep ini dalam kalimat ringkas, "Hidup itu pendek, karenanya jangan dipendekkan lagi dengan lamunan dan perbuatan dosa."
Kemuliaan dan kebahagiaan adalah milik or¬ang-orang yang selalu menekurkan kepala mengingat akhirat, sembari mengayuh sampan dunia dengan penuh harap. Bila bahagia datang menjelang.
Oleh : M. Nurkholis Ridwan
Sabili No. 26 Th. 27 Juli 2002 / 16 Rabiul Akhir