Minggu, 22 Juli 2012

Bola dan Hegemoni

Keketika ruang hidup kita dipenuhi segala sesuatu berbau bola. Banyak media massa berebut menyesuikan space pemberitaan demi galah pada acara yang konon digemari oleh sedikitnya dua miliar manusia ini. Barangkali tidak berlebihan, karena anggota FIFA organisasi bola bergengsi dunia dihuni hampir 200 negara, lebih banyak dari anggota PBB. Jamaah shalat isya di Mushala/Masjid dekat rumah yang biasanya lumayan banyak, di hari-hari World Cup 2010 belakangan hanya bisa dihitung dengan jari. Dunia bisnis harus menekurkan kepala. Sebab kata sebuah riset, produktivitas para manajer bisa turun sampai 50 persen. Heboh!
Jeritanya belum selesai. Tiba-tiba banyak orang yang suka mengumpat, berteriak, menampakkan sisi kekanak-kanakan dirinya di hadapan publik. Ada fanatisme, emosi, simpati , dan cinta berbaur dalam harubiru kegembiraan dan kesedihan. Sesuatu yang, dari sebuah pelibatan diri yang dahsyat dan luar biasa. Jadi, tak perlu risau kalau di tahun 1966, seorang pelajar Jerman memilih terjun dari lantai empat sebuah hotel setelah kesebelasan Jermann dikalahkan Inggris. Tak mau kalah seru, di Jawa Timur ada yang saling mempertaruhkan sawahnya hanya untuk kemenangan tim favoritnya.
Tapi, marilah sejenak kita melepas penat cermati hiruk-pikuk bola yang memekakkan telinga, sembari menekurkan diri tentang sebuah sudut yang terabaikan: hegemoni. Tentang betapa kuat cengkraman Barat dalam memaksakan nilai yang dianutnya lewat gurita media milik mereka. Dengan klaim kedigdayaan peradaban dan kebuudayaan, maka nilai-nilai keberagaman, pluralitas, dan independensi adalah sebuah 'dosa besar' yang pelakunya harus diberi pelajaran. semuanya harus dicerahkan agar dapat hidup “beradab". Semuanya harus bernaung, apapun caranya, dalam sebuah payung bemama: Barat.
Dari rahim hegemoni inilah lahir isu-isu "Demokrasi", "HAM", "Emansipasi", dan yang paling anyar adalah 'Terorisme" dan "Fundamentalisme". Lalu setiap hari telinga kita dicelkoki berbagai istilah dan definisi milik Barat, sehingga lama kelamaan benak pikiran kita mulai mengangguk setuju, sadar atau tidak. Sebagian lagi malah latah dan ikut-ikutan teriak. Lupa, bahwa ini cuma satu dari mata rantai pembinasaan pernikiran (Ghazw al-Fikr).
Ah, sudahlah..! Agar tidak disangka cuma bisa marah-marah, atau melarang nonton apalagi main bola, letak masalah sebenarnya Cuma pada proporsionalitas (tawazun) saja. Bola cuma kulit berbentuk bulat yang ditendang ke sana ke mari. Sedang bermain bola, adalah olahraga menyehatkan sekaligus hiburan yang dapat mengeratkan ukhuwah jika diniatkan dan dimainkan dengan baik. Nonton bola juga hiburan yang sehat, daripada nonton film yang nggak karuan. Cuma, kalau shalat wajib, termasuk subuh, shalat berjama'ah dan qiyamullail sampai terabaikan, itu yang jadi masalah. Lebih parah lagi kalau main taruhan, sebab perbuatan ini termasuk jadi yang diharamkan.
Barangkali kepekaan umat untuk bersikap seimbang (Fiqh al-Muwaazanah) inilah yang menjadi resep ampuh ketika berhadapan dengan hegemoni Barat, termasuk dalam menyaring segala sesuatu yang datang dari luar Islam. Bahwa, segala sesuatu harus diletakkan sesuai tempatnya. Yang haram ditinggalkan dan yang mubah silakan dikerjakan. Tapi, mengerjakan yang mubah jangan sampai meninggalkan kewajiban, apalagi mengerjakan yang haram. "Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, " (QS al-Qashash: 77). 0
Oleh : M. Nurkholis Ridwan
Sabili no.26 Th. IX 27 Juni 2002 / 16 Rabiul Akhir 1423