Minggu, 22 Juli 2012

Terjajah

Cahaya matahari yang terbit di pagi hari menandakan dimulainya sebuah rutinitas. Suara hirukpikuk terdenga di manamana. Mulai dari lorong-lorong gang sempit, jalan raya, pasar-pasar tradisional, terminal bus, stasiun kereta api, pusat-pusat industri, gedung-gedung bertingkat, hingga pem¬buangan sampah dan sebagainya. Dengan wajah penuh harap mereka bertebaran mengais rezeki di berbagai belahan bumi perliwi, kalau perlu ke manca negara. Pasalnya, demi sekadar mencari sesu¬ap nasi, tak peduli pekerjaan sehina apa pun dilakukan, yang penting halal. Begitu kata sebagian orang.
Di sisi lain terlihat wajah-wajah pucat pasi sedang murung, memandang pesimis mass depan. Jumlah mereka jauh lebih banyak. Kesulitan mencari mats pencaharian menyebabkan mereka larut dalam keputusasaan. Tanya pikir panjang, jalan anomali pun diterjang. Jumlah pekerja haram pun makin membludak. Perjudian, pelacuran, penipuan, penodongan, perampokan dan sebagainya benar benar telah mengusamkan warna negeri ini.
Sungguh tragis kalau orientasi kehidupan orang kecil selalu diarahkan hanya demi setitik kesejahteraan. Ketika mereka terjebak dalam arus paradoks, lagi-lagi alasan klasik yang selalu terlontarkan: demi sesuap nasi. Hal ini tidak salah dan tidak bermasalah. Yang salah adalah jika pemenuhan kebutuhan selalu ditempuh dengan menggunakan cara-cara yang sarat dengan anomali. Yang bermasalah adalah jika karena keadaan parah akibat himpitan ekonomi, orang nekat menerobos jalan yang menyimpang. Fenomena social negeri "kolam susu" ini tak lagi dapat disembunyikan.
Indonesia memang sudah merdeka sejak 63 tahun silam. Tapi, melihat rentetan keterpurukan yang menimpa negeri ini, patut dipertanyakan, sudahkah kemerdekaan itu menyentuh semua lapis-an? Kalau jawabannya "ya", tentu sebagian orang yang sedang dirunclung kesengsaraan hidup akan memperotes keras. Dengan lantang akan keluar teriakan, "Bangsa ini masih terjajah!"
Ya, sepertinya tidak salah kalau DIkatakan demikian. Karena nyatanya, bangsa ini memang masih terbelenggu oleh kaum penjajah yang berasal dari negeri sendiri. Sudah sekian lama amanat rakyat dikhianati. Hasil pembangunan selalu saja dikorupsi dan dikolusi. Berbagai kasus Hak Asasi Manusia (HAM) selalu tidak terpecahkan. Kerap kali semua itu berujung pada ancaman perpecahan dan disintegrasi. Ketidakbecusan para pemegang amanat rakyat dalam mengatur negeri membuat kemerdekaan ini semakin terkoyak.
Koyakan itu semakin nyata ketika sebagian orang-orang kecil tak mampu lagi menahan ujian. Lantaran tak kuat mengarungi jalan yang penuh onak dan duri yang menyebabkan banyak orang nekat menerobos jalan pintas, dan akhirnya jatuh ke jurang kehancuran. Diakui atau tidak, keberadaan orang-orang frustrasi itu semakin memperparah keadaan negeri ini.
Sejarah mencatat bahwa sekian lama sudah bangsa ini terjajah oleh bangsa lain. Banyak bangsa yang bersimpati. Tapi kini, ketika kita mendapat label sebagai penjajah bangsa sendiri, jangankan mendapat empati, menanggung rasa malu pun kita sudah hampir tak sanggup lagi.
Oleh : Ikhwan Fauzi
Sabili No. 03 Th.X 22 agustus 2002 /