Minggu, 22 Juli 2012

Merajut Takwa

Bila kita mengharapkan seseorang bersikap tulus dengan sesungguhnya, bisa jadi kita akan kecewa. Apalagi bila kita mengharapkan sikap tulus itu akan ditunjukkan secara terus menerus, tak tergerus sedikit pun. Dalam kehidupan yang mengagung-agungkan mated, sikap tulus bahkan dianggap absurd. Tak seorang pun percaya bila suatu tindakan dilakukan tanpa pamrih.
Bila begitu keadaannya, manusia akan hidup dalam keterasingan. Meskipun berada di tengah keramaian. Semuanya serba semu, semuanya jadi tidak pasti. Mungkin berbagai sarana yang menunjang aktivitas lengkap tersedia. Mungkin
pula ada berbagai fasilitas yang memungkinkan se¬tiap orang berkomunikasi. Tapi, keterasingan itu akan semakin kuat terasa karena kehidupan tak lebih menjadi transaksi jual beli. Selebihnya, manusia hanya termangu menatap keriput di wajahnya sambil menghitung sisa waktu.
Teriakan menyoal rasialisme membuat keterasingan itu mengoyak dinding nurani. Haruskah seseorang diasingkan karena ada sesuatu yang berbeda? Tapi itulah yang terjadi. Menggelinding tak pasti, membuat kehidupan kehilangan makna sama sekali. Dan lanehnya, hat itu terus berulang dan berulang l9gi. Seakan tak ada gunanya'%nanusia berpikir untuk kesekian kali. Sebab, yang tercipta justru dinding-dinding yang tinggi. Atau jalan buntu yang memuncratkan keputusasaan.
Tiba-tiba saja kita terjebak pada penilaian semu terhadap hakikat hidup. Juga terhadap sesama manusia. Kita jugs begitu mudahnya mengelompokkan manusia berdasarkan kategori yang kita sukai. Bila sesuai selera, kita akan tersenyum puss. Peduli apa dengan berbagai keluh kesah, air mats, dan darah? Bila tidak sesuai selera, kita akan berupaya memaksakan kehendak, meski untuk itu harus menghalalkan segala cara. Apakah kita akan bertindak seperti itu tanpa jeda, tanpa perlu mengevaluasi diri?
Maha Suci Allah yang telah berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara. kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertAkwa, " (QS al-Hujurat: 13). Sungguh
menyejukkan hati, karena Allah telah mencanangkan kemuliaan seseorang tidak berdasarkan sesuatu apa pun. Seasing, dan tidak dikenal. Sesuatu yang bisa jadi memicu konflik, pertikaian, kerusuhan, bahkan peperangan. Tapi Allah menilai kemuliaan seseorang dari ketakwaannya. "Takwa itu di sini," sabda Rasulullah saw sambil menunjuk dada.
Bila Allah Rabbul Izzati, Dzat Yang Maha Tinggi, Penguasa alam semesta ini, menilai manusia dengan kriteria yang begitu agung, mengapa kita justru terperangkap pada kenistaan dalam bersikap? Padahal kita adalah makhluk-Nya yang lemah, yang tidak berdaya tanpa petunjuk¬Nya. Tak jarang kita menilai orang lain dari hal¬hal sepele dan tidak perlu. Sebaliknya, kita justru lupa merajut takwa agar tetap kuat terjalin dalam dada kita. Agar semakin kokoh fungsi kita di muka bumi sebagai pemakmurnya. Bukan justru menghancurkan segala yang ada. Semoga Allah SWT mencurahkan taufik dan hidayah-Nya. Wallahu a'lam.
Oleh : Imam N Sujudi
Sabili No. 22 Th. IX 2 Mei 2002 / 19 Shafar 1423