Minggu, 22 Juli 2012

Pembusukan

Di Surabaya, seorang cucu yang kebingungan akibat hamil di luar nikah nekat membunuh nenek yang memeliharanya sejak kecil, hanya karena ia butuh uang untuk menggugurkan kanclungannya. Di Padang, seorang pemuda menghabisi saudara tirinya, hanya karena kesal perintahnya untuk me¬nanakkan nasi ditampik.
Sebuah paradoks besar terpam¬pang di hadapan kita. Sebuah pertanyaan menyelinap. Be¬narkah penclucluk negeri ini ramah dan relijius? Jika ya, lalu mengapa peristiwa-peris¬tiwa tragis dan memalukan terjadi. Orang tua menggagahi anaknya, guru mencabuli mu¬ridnya, serta lusinan kisah memilukan lainnya. Ini benar¬benar terjadi di sini. Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, tapi selama bertahun¬tahun lamanya mated dan para. thagut diberhalakan.
Maka, mungkin benar apa yang diungkapkan Taufik Ismail dalam puisi-puisinya. Perlahan tapi pasti, niscaya negeri ini sedang merayapkan status dirinya sendiri, dari negeri kutukan menjadi negeri azab. Ya, bagaimana bukan negeri kutukan, jika rasa aman kini nyaris seperti jarum yang menelisip ke onggokan jerami dan begitu susah dicari. Ketika darah mudah sekali tumpah. Ketika nyawa teramat gampang melayang tanpa pernah tahu sebabnya. Bagaimana kita tidak tinggal negeri azab, jika rasa malu telah lenyap, dan budaya serba boleh telah menjadi mats uang yang dibawa orang ke mana saja.
Ya, inilah negeri penuh fitnah yang semakin mengeksistensikan kegelapan sebagai jubah dirinya. Ketika orang yang masih menyisakan nurani dalam rongga dadanya merasa seperti sedang berjalan di atas bentangan beling dan paku. Ketika "orang-orang baik" tidak benar-¬benar mampu menjamin dirinya, apakah ia mampu benar-benar beriman di siang harinya dan tetap mempertahankan keimanan sampai malam datang menggelar tirai pekatnya.
Maka, beginilah keadaannya, jika manusia merasa lebih perkasa dari Tuhan yang men¬ciptakannya: gelap. Dan kegelapan ini, akan semakin berlapis ketika orang-orang baik kehilangan kepekaannya. Jika mereka ikut¬ ikutan menyimak semua peristiwa tragis dan memilukan itu tidak untuk ditangisi, tapi sekadar celotehan di warung kopi dan clongeng pengan¬tar tidur.
Padahal, jika bukan karena doa orang-orang ikhlas—yang mungkin masih ada dan terselip di batik semua stigma jahat negeri ini; bukan karena doa tutus pars khatib di surau dan langgar-langgar di pelosok terpencil; niscaya, sudah jauh-jauh hari negeri ini diluluh¬lantakkan Allah SWT. Ditengge¬lamkan dan hilang riwayatnya dari peta bumi (QS al-Anfal: 33).
Di antara kepenatan dan kepe¬katan itu mudah-mudahan masih terselip doa, tetaplah istiqamah selalu wahai orang-orang baik. Orang-orang yang terns berjuang menjaga kesucian diri, keluarga, bangsa, dan tanah air menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Karena se¬sungguhnya kita tetap mulia selama meng¬genggam iman (QS Ali 'Imran: 139). Sesulit dan seburuk apapun keadaannya, jangan pernah menyerah dan berputus asa dalam menegakkan panji dakwah, dan beramar ma'ruf nahi munkar.
Oleh : M Adnan Firdaus
Sabili No. 23 Th. IX 16 Mei 2002 / 3 Rabiul Awal 1423